Aku belum ingin menikah bukan karena aku sedang menutup diri,
Hanya saja, aku belum menemukan lelaki tepat yang bisa menjadi imamku.
Aku masih muda, Ada banyak hal yang ingin aku rasakan,
satu per satu ingin kuwujudkan cita-citaku. Bolehkah aku tidak
memikirkan hal-hal yang berbau pernikahan dulu,? Aku tahu Bu, dalam
hatimu selalu ada keinginan untuk segera melihat kebahagiaanku, dan ibu
berharap bisa segera mungkin aku bisa melihatku duduk berdampingan di
pelaminan didampingi oleh lelaki yang tepat.
Lelaki tampan,
bijaksana dan bertanggung jawab seperti ayah, yang sampai sekarang tidak
pernah lelah menjadi pelindung kita. Aku mengerti keresahan hati ibu.
Melihat teman-temanku sudah mempunyai pendamping hidup. Melihat
teman-teman ibu sudah menggendong cucu, dan ibu masih selalu tersenyum
dengan tulusnya ketika aku cerita kalau aku gagal lagi membina sebuah
hubungan.
Aku tak ingin gegabah mengambil keputusan untuk menikah. Aku tak ingin terburu-buru menikah karena melihat satu per satu teman-temanku sudah menikah, dan aku memang belum menemukan sosok lelaki yang bisa menjadi imamku kelak. Tak usah Ibu khawatir.
Percayalah Bu, bahwa kelak akan ada lelaki hebat yang akan kukenalkan pada Ibu.
Lagipula, aku masih ingin menikmati kegilaanku bersama
sahabat-sahabatku. Bolehkah jika aku masih ingin berpuas-puas menikmati
masa lajangku ini, Bu?
Sahabat bagiku adalah orang-orang yang selalu menghiburku baik di
kala duka maupun suka. Tapi tenang saja Bu, Ibu tetap nomor satu dari
sekian banyak hal yang menjadi alasan aku untuk bahagia. Karena itulah
Bu, aku meminta izin padamu, bolehkah aku punya waktu lebih lama yang
kuhabiskan bersama teman-teman? Setiap aku bersama mereka, sejenak aku
bisa melupakan keletihanku karena kegiatan yang banyak menyita waktu.
Jangan
kau marah Ibu, karena sesungguhnya waktu yang kuhabiskan bersama mereka
tak sebanding dengan waktu yang aku habiskan bersama Ibu. Ibu selalu
menegurku saat aku lupa waktu karena terlalu banyak menghabiskan waktu
bersama mereka. Sampai terkadang adu mulut dengan ibu jadi tidak
terelakkan. Maafkan aku ibu, bukan berarti aku tidak menghormatimu. Aku
tahu ibu melakukan semua ini karena ibu khawatir padaku.
Mungkin
ibu khawatir dengan setiap waktu yang kuhabiskan dengan temanku hanya
sia-sia belaka. Atau mungkin ibu juga khawatir aku kebablasan
bergaul dengan teman-temanku. Tenang ibu, setiap kali aku mau melakukan
sesuatu, tidak pernah sedetikpun aku melewatkan semua nasihat-nasihat
Ibu.
Karena saat aku sudah menjadi istri nanti, aku tak lagi bisa
sebebas ini, Bu. Aku sadari akan hal itu. Diam-diam aku memperhatikan
para pengantin baru, aku mendengar cerita dari Ibu, tentang bagaimana
menjadi seorang istri yang baik. Aku harus patuh dengan suamiku, aku
harus mendahulukan kepentingan rumah tangggaku di atas keinginan
pribadiku.
Saat aku menikah nanti, aku pasti masih bisa bertemu
dan menghabiskan waktu bersama sahabat-sahabatku, namun porsinya akan
jauh lebih sedikit. Jika biasanya akau hanya butuh izin dari ibu dan
ayah untuk bermain dengan sahaba-sahabatku, nantinya aku harus menunggu
izin dari suamiku, dan pastinya aku juga harus memenuhi kewajibanku
sebagai istri terlebih dahulu. Aku belum siap untuk itu, Bu.
Jangan resah jika ibu melihatku melakukan apapun seorang diri. Percayalah, anak gadismu ini sekarang sudah menjadi wanita tangguh yang mandiri.
Anak gadis ibu yang dulu ibu timang-timang, sekarang telah berubuah menjadi wanita tangguh dan mandri. Tenang bu, meskipun begitu aku tidak melupakan kodratku sebagai wanita kok. Aku tetap seorang wanita yang perlu tempat untuk berlindung. Seperti ibu yang berlindung disamping ayah.
Aku masih bisa pergi sendiri, makan sendiri, ke mall sendiri, bahkan yang paling ekstrim pergi ke kondangan teman juga sendirian. Dan sampai sekarang aku masih baik-baik saja kok, Bu.
Bukan berarti karena aku masih sendiri, aku tidak bisa melakukan banyak hal seperti pasangan-pasangan itu, Bu. Aku belajar mandiri berkat ibu ‘kan? Ibu dan ayah selalu mengajariku untuk menjadi perempuan hebat dan tangguh, tak mudah bergantung pada orang lain. Meskipun terkadang tidak jarang juga aku menangis di hadapanmu, tapi bukan berarti aku lemah bu, itu karena bagiku engkau tempat aku mencurahkan semuanya.
Tak kupungkiri, aku pun mendambakan seorang pendamping yang bisa menjadi penopangku nanti bu. Aku pun ingin memiliki pendamping yang bisa menjadi tempat berbagi hati, cerita, suka, dan duka. Tapi aku masih ingin menikmati kemandirianku sejenak, bu. Tak salah ‘kan jika aku ingin merasakan hidup sebagai perempuan yang mandiri?
Aku juga tidak ingin berakhir menjadi wanita karir yang lupa kapan
aku harus mengakhiri masa lajang. Aku tidak berpikir seperti itu ibu,
keinginan untuk membina rumah tangga dan menjad seorang ibu itu selalu
tetap ada.
Tapi, pekerjaan ini seolah menghiburku. Pekerjaan ini
menjadi pengalih perhatianku dari hal-hal semacam itu. Pekerjaanku
memang belum bisa menjadikanku jutawan, tapi karena pekerjaan ini aku
jadi berharga di mata ibu, keluarga, dan masyarakat. Pekerjaan
adalah yang aku inginkan semenjak aku duduk di bangku kuliah dan
mati-matian meraih gelar sarjanaku.
Maka, izinkan aku Bu untuk
sejenak menggeluti lebih dalam lagi pekerjaanku ini. Aku ingin
mengembangkan lagi kemampuanku, aku masih haus banyak pengalaman, dan
aku masih ingin banyak berkarya lagi.Sedang pekerjaanku ni tak
memungkinkan bagiku lagi jika aku harus menikah saat ini.
Meskipun
penghasilannya tidak seberapa dan mungkin aku hanya bisa membelikan ibu
dan ayah selembar kain batik, tapi aku merasa hidup sebagai manusia di
tempat ini, Bu.. Maaf ya Ibu, aju belum bisa membelikan perhiasan mahal
untukmu. Tunggulah sebentar lagi, mungkin aku bisa membelikannya untuk
ibu. Asalkan ibu tidak selalu menanyakan kapan aku menikah,
Lagipula Bu, aku masih ingin bermanja-manja dan menghabiskan waktu bersamamu ibu. Sebelum nanti aku harus pergi meninggalkan rumah untuk ikut suami.
Ibu pasti tahu kan kalau aku sudah menikah kemudian aku tidak lagi
tinggal bersamamu lagi? Ibu juga pasti tahu kalau suatu saat nanti aku
akan meninggalkan ibu dan ayah, dan pindah untuk bermukim mengikuti
suami? Mungkin nanti aku akan berkunjung kerumah ibu satu minggu sekali,
satu bulan sekali, atau bahkan satu tahun sekali ibu. Demi apapun, aku
belum siap untuk menjalani hal itu, Bu.
Aku masih ingin menjadi
putri kecil ibu yang merajuk manja di dalam pelukanmu. Aku masih ingin
menjadi gadis kecil ibu yang diam-diam keluar malam untuk jajan kudapan
malam di depan rumah. Aku masih ingin menikmati masakan ibu saat aku
pulang. Aku masih ingin mendengar omelan-omelan ibu saat aku malas
bersih-bersih rumah. Dan aku masih ingin merasakan hangatnya rumah ini
lebih lama lagi, Bu.
Untuk itu, betapa aku masih ingin
menghabiskan waktu bersama ibu dan ayah. Merawat engkau dan ayah selagi
sakit, belajar memasak, belajar menjadi peran sepertimu di rumah kita
yang sederhana ini. Ajari aku Bu sebelum nantinya aku beralih peran dari
seorang gadis kecil yang manja menjadi seorang ibu sepertimu.
No comments:
Post a Comment